Oleh Eko B Supriyanto Pimpinan Redaksi InfoBank Group
JUDUL
tulisan ini sama sekali tidak ingin mempersoalkan iuran industri kepada
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perkara iuran sudah selesai. Tidak ada
diskusi. Final. Dan, industri sudah membayar hingga usia OJK 8 tahun.
Tulisan ini hanya sedikit bertanya, untuk apa dan sepadankah uang iuran
itu untuk kemajuan dan memperkuat industri keuangan?
Tahun
lalu, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan beberapa catatan.
Jika tidak ingin disebut pemborosan terhadap pos-pos pengeluaran. Salah
satunya adalah tidak dipakainya gedung yang sudah terlanjur disewa —
hanya gara-gara karena warisan rezim OJK lama. Kabar soal pemborosan
yang dituduh BPK kini tak terdengar lagi. Entah sudah “diselesaikan”
atau tetap menjadi catatan audit berikutnya. Kita tunggu.
Tahun
2020, dalam Rencana Anggaran Keuangannya, OJK mengajukan tambahan
anggaran menjadi Rp6,06 triliun. Nilai itu naik 9,64% dibandingkan
dengan anggaran 2019 yang sebesar Rp5,53 triliun. Hal ini wajar saja
terjadi kenaikan karena memang aset industri keuangan juga naik.
Tidak
hanya Komisi XI DPR RI yang mempertanyakan, dan bahkan hendak membuat
semacam lembaga supervisi (amandemen UU OJK). Dalam jangka pendek Komisi
XI DPR RI hendak membuat Panitia Kerja Pengawasan OJK dalam kaitan
Penyehatan Jiwasraya, Bumiputera dan Muamalat.
Selama
8 tahun, OJK bukan tidak bekerja dalam menyelesaikan penyehatan
industri keuangan. Sudah luar biasa. Tapi untuk Jiwasraya, Bumiputera
dan Mualamat publik menilai, dan Komisi XI DPR RI yang memilih Dewan
Komisioner belum dinilai optimal. Kinerja pengawasan tentu tidak hanya
melihat tiga institusi itu.
Sebelumnya,
masyakarat tidak melupakan peristiwa gagal bayar dan kredit macet macet
Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) Finance di tahun 2018. Ada Silo di
jajaran dewan komisioner OJK dalam kasus SNP dan kejeblosnya 14 bank.
Ada
banyak prestasi OJK yang dibanggakan. Ada pertumbuhan sektor perbankan
dan IKNB. Khususnya, sektor perbankan punya daya tahan yang memadai. Ia
juga, tegas menutup investasi bodong dan Fintech abal-abal. Bahkan, OJK
bisa masuk MURI karena menginisiasi hadirnya Bank Wakaf menjelang Pemilu
tahun 2019 lalu. Tema-tema OJK terlihat aktif mendorong pertumbuhan
yang menjadi tugas utama pemerintah.
Ada
catatan penting dari World Bank untuk otoritas keuangan di Tanah Air
agar segera mengambil kebijakan. Dalam laporannya berjudul Global
Economic Risks and Implications for Indonesia, yang dirilis pada
September 2019, World Bank menyoroti dua area sistem keuangan yang
sangat perlu untuk diperbaiki.
Pertama,
adalah bagaimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meningkatkan
pengawasannya terhadap konglomerasi di sektor keuangan. World Bank juga
menyarankan OJK untuk merevisi aturan, dan membentuk satu tim yang
khusus mengawasi risiko dari konglomerasi keuangan ini.
Kedua,
area yang menjadi sorotan adalah mempertahankan kredibilitas sistem
keuangan dengan memperbaiki kelemahan di sektor asuransi. Secara tegas,
World Bank menggarisbawahi masalah yang menimpa dua asuransi jiwa
nasional terbesar, yakni AJB Bumiputera 1912 dan Asuransi Jiwasraya.
Dalam
RKA 2020, OJK mengajukan anggaran administratif (terkait pengawasan,
edukasi dan berbasis SDM) sebesar Rp 4,3 triliun. Angka itu naik 11,85
persen dari anggaran administratif tahun lalu yang sebesar Rp 3,8
triliun. Sedangkan untuk anggaran operasional, OJK mengajukan Rp 1,28
triliun. Angka itu naik 22,73 persen dibandingkan dengan tahun ini yang
sebesar Rp 1,04 triliun.
Adapun
untuk kegiatan pengadaan aset, justru turun 28 persen menjadi Rp 400,42
miliar dari tahun lalu yang senilai Rp 556 miliar. Anggaran kegiatan
pendukung lainnya turun 19,02 persen menjadi Rp 35,09 miliar dari 2019
sebesar Rp 43,3 miliar.
Jadi
untuk apa iuran industri yang terus membesar? Didiklah dengan baik para
pengawas OJK (bank dan IKNB) agar lebih mumpuni dan jangan hanya
sekedar mencari-cari kesalahan tidak subtansi. Ini penting kerena jumlah
pengawas yang punya pengalaman 5 tahun ke bawah jumlahnya sangat
dominan.
Harusnya
dana iuran itu akan lebih banyak diperuntukan menambah tenaga dan
jumlah pengawas. Permintaan tenaga pengawas ke Bank Indonesia setidaknya
merupakan bukti bahwa tenaga pengawas masih kurang. Kita semua ingin
OJK kuat, apalagi dalam situasi pasar global tertekan seperti sekarang
ini. Jangan sampai tekanan itu memperburuk kuda kuda sektor keuangan.
Apakah
anggaran administrasi yang paling besar terkait pengawasan dan edukasi
ini, benar-benar murni untuk memperkuat pengawasan yang menjadi marwah
utama OJK? Jangan sampai biaya administrasi ini di dalamnya untuk
pembangunan Gedung Financial Centre (Kantor Pusat OJK).
Jika
dana iuran OJK untuk pembangunan gedung, apalagi dianggarkan sampai
tahun 2027 tentu tidaklah patut (mengingat biayanya yang besar). Dalam
hal ini industri tidak bisa berbuat apa-apa — kalau anggaran itu
disetujui oleh DPR. Hanya saja uang iuran kok buat bangun gedung.
Apalagi, Ibukota juga akan pindah.
Tidak
sulit OJK minta persetujuan DPR, dan pengalaman seperti diungkankan
mantan anggota Komisi XI DPR RI, biasanya OJK membalas atas persetujuan
anggaran itu dengan mengadakan Focus Discussion Group (FDG) di Daerah
Pemilihan (Dapil) masing-masing anggota Komisi XI DPR RI. Biasanya
dibuat program FDG ke daerah-daerah yang dibungkus literasi, atau
program edukasi. Ini juga tidak salah, yang tidak patut kalau dalam
pembahasan (atau sebelum diputus) anggaran sudah dijanjikan program
“jalan-jalan” ini.
Kita
semua ingin melihat OJK independen sesuai marwah pendiriannya. Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan: Terselenggara secara teratur, adil,
transparan, dan akuntabel. Juga, mampu mewujudkan sistem keuangan yang
tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat.
Mengatur,
Mengawasi dan Melindungi masih tetap relevan, meski jarang terdengar
lagi. Lebih sering terdengar kata pertumbuhan dan investasi bodong dari
pada roh utama OJK, mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan yang
kridibel, sehingga punya daya saing tinggi.
Bicara
pertumbuhan tidak salah, tapi tidak terkesan terlalu condong
“menghamba” ke Pemerintah, karena OJK itu independen dengan tugas utama
pengawasan di sektor perbankan dan IKNB. Tema-tema OJK tentang
pertumbuhan sudah seharusnya dikurangi, karena pertumbuhan bukan tugas
pokok OJK.
Lebih
patut jika bicara memperkuat pengawasan dan marwah didirikan OJK delpan
tahun lalu – agar tidak terjadi regulasi arbitrase – memilih pengaturan
yang ringan. Pengawasan terintegrasi yang efektif dengan tenaga
pengawas yang juga memadai dari sisi jumlah dan kapasitas. Itu yang
lebih strategis sekarang ini.
Sembari
kita semua menunggu amandemen UU OJK agar tidak Silo (dewan
Komisioner), seperti kata World Bank. Pesan industri jika ada sisa
anggaran ada baiknya dikembalikan ke industri dalam bentuk peningkatan
kualitas sumber daya di sektor keuangan.
Pungutan
yang diwajibkan kepada indutri jasa keuangan setidaknya harus dirasakan
manfaatnya kembali kepada industry (recycling) dengan berbagai program
kerja OJK yang bernilai tambah bidang pengaturan, dan pengawasan
terintegrasi, perlindungan konsumen dan good governance.
Pada
akhirnya, anggaran diarahkan untuk meningkatkan pemahaman dan
kepercayaan konsumen terhadap sektor jasa keuangan sehingga mampu
menciptakan dan membangun pertumbuhan industru jasa keuangan yang
berkelanjutan.
Dirgahayu OJK ke-8. Jangan boros,ya bro!